Seratus Bagiku

Seratus Bagiku


Untuk pertama kalinya saya akan bercerita tentang sejarah “Seratus” dalam hidup saya. Bukan karena cerita itu teramat penting dan besar, tapi justru karena keremehannya yang luar biasa. Dan remehnya itulah yang menarik bagi saya.

Dalam sebuah pembicaraan iseng dengan Reza, dia berceletuk tentang satu jajanan legendaris tahun ’80-an bernama “Es Jolly”. Otak saya langsung berputar dan menggali kenangan tentang Es Jolly. Siapa yang (dulu) tidak kenal Es Jolly? Seperti Oreo di masa sekarang yang terkenal dengan kredo “diputar, dijilat, dan dicelup”-nya, maka Es Jolly pada masa itu terkenal dengan gerakan mematahkan batang es menjadi dua, lalu menyeruput dengan hebohnya sampai pipi kempot.

Es Jolly begitu kencang didagangkan dan diiklankan. Saya, yang pada saat itu masih SD, juga jadi korban iklan. Saya hafal mati ritual mematahkan dan menyeruput batang esnya, saya tahu bahwa rasa yang paling difavoritkan khalayak adalah Orange dan Grape, tapi saya pun tersadar akan sesuatu yang aneh… kok, rasa-rasanya saya sendiri belum pernah mencicipi Es Jolly. Reza melongo tak percaya, “Masa belum pernah?” serunya. Saya mengingat-ingat lebih keras. Melintaslah kenangan Dewi kecil yang berpura-pura mematahkan es lalu menyeruput udara hampa dalam kepalan tangannya, air liur yang mengumpul saat membayangkan sensasi rasa Es Jolly yang ramai dibicarakan orang… dan, ternyata memang benar: saya hanya sering berkhayal menikmati Es Jolly, tapi pada kenyataannya saya belum pernah mengecapnya sekalipun.

Saya lalu iseng menelusuri misteri tadi: mengapa? Mengapa saya tak pernah mencicip Es Jolly?

Penelusuran itu lantas mempertemukan saya dengan sekeping logam. Seratus perak. Angka keramat yang menghiasi ribuan hari-hari saya sewaktu kecil.

Setidaknya empat tahun terakhir masa bersekolah saya di SD, ibu saya dengan setia memberikan uang jajan yang sama: seratus perak. Mungkin karena pada masa itu inflasi tidak meroket dengan kecepatan menggila seperti sekarang, saya bisa bertahan empat tahun dengan jumlah uang jajan yang tetap.

Seorang anak SD bertubuh ceking, dengan logam 100 perak di kantong, haruslah pintar-pintar menata energi tubuhnya dalam enam jam bersekolah dengan dua kali slot istirahat. Setiap bel istirahat berbunyi saya punya jatah 50 perak untuk menuntaskan dahaga serta mengenyangkan perut. 25 perak untuk satu jenis makanan. 25 perak untuk satu jenis minuman. Demikian seperti itu setiap hari.

Jika saya ngiler pada satu makanan atau minuman yang harganya di atas 25 perak, maka neraca keseimbangan saya bubar. Terpaksa memilih satu: menahan haus atau menahan lapar. Jika beberapa dagangan favorit tertentu baru muncul pada jam bubar sekolah, saya pun harus rela gigit jari sewaktu istirahat karena 50 perak saya terpaksa ditahan pemanfaatannya sampai jam 12 siang nanti. Tanpa terasa, hidup saya bergravitasi di angka “selawe” (istilah nasional: 25 perak). Apa pun yang selawe berarti di dalam jangkauan, sementara apa pun yang di atas selawe berarti pengorbanan atau cuma jadi khayalan.

Berikut daftar menu standar saya saat bersekolah:
  • 1 bala-bala (istilah nasional: bakwan) dan 1 limun (sirup kuning dalam plastik dengan sedotan berdiameter super kecil yang elastis)
  • 1 cilok (singkatan dari: aci dicolok) ukuran besar dan 1 es lilin yoghurt
  • 1 pisang goreng dan 1 es nangka
  • 1 bungkus kerupuk (atau dua bungkus, karena kadang-kadang masih ada yang harganya selawe dua) dan 1 buah iris
  • 1 kue bandros (istilah nasional: tidak tahu) dan 1 es teh
  • … dan aneka kombinasi makanan berharga selawe lainnya.
Misteri Es Jolly terungkap sudah. Meski saya tidak ingat persis berapa harganya, bisa dipastikan bahwa Es Jolly berada di luar jangkauan”orbit” seratus perak saya. Terjawab jugalah mengapa saya baru mencicip rasa Teh Botol di bangku SMP: karena Teh Botol dulu harganya 75 perak. Benar-benar mengacaukan neraca ekonomi. Saya hanya sanggup melirik teman yang menyeruput Teh Botol berbongkah es dalam plastik sambil menerka-nerka: kayak apa sih rasanya? Terjawab pula mengapa saya baru mencicip Coca Cola—juga—waktu SMP. Karena harganya seratus perak.

Keluarga saya bukan tergolong keluarga miskin. Walaupun cenderung sederhana, kami termasuk keluarga ekonomi menengah yang masih sanggup menyekolahkan anak hingga perguruan tinggi, punya satu mobil, rumah yang cukup luas, dan makanan bergizi setiap hari. Namun saya tidak pernah tahu alasan pasti kenapa ibu saya selama empat tahun hanya memberikan uang saku 100 perak. Barangkali itulah yang akan tetap bertahan menjadi sebuah misteri. Karena ketika beranjak besar barulah saya sadar perbedaan pengalaman kuliner masa kecil saya dengan hampir semua orang yang saya temui. Rata-rata mereka mencicip jajanan yang saya cicip, tapi saya tidak mencicip apa yang kebanyakan dari mereka cicip.

Selingkar koin seratus menjadi tempat saya berputar selama bertahun-tahun. Sekali lagi, saya tidak tahu pasti manfaat penelusuruan iseng ini. Namun sejenak saya tercengang bagaimana kekuatan jumlah uang saku dan ruang yang dimungkinkannya dapat membentuk semesta pengalaman seseorang.

Bagaimana dengan pengalaman yang dihadirkan uang saku Anda?

EPILOG

Barangkali akibat pengalaman masa kecil tersebut, inilah satu kebiasaan yang (entah kenapa dan entah bagaimana) bertahan hingga hari ini saat usia saya sudah kepala tiga:



PS-1. Ide epilog ini dicetuskan oleh Reza, yang tadinya saya mintai tolong untuk mengambil gambar tangan saya memegang sekeping uang 100 perak, tapi setelah dia melihat “koleksi” saya, dia merasa bahwa kantong tersebut lebih menarik dijadikan objek gambar sekaligus kesimpulan tulisan ini (sambil dia tertawa terbahak-bahak, tentunya). And… yeah… I think he’s right.

PS-2. Isi kantong itu sudah berkurang tiga perempatnya karena koin 500-an sudah dipakai untuk bayar parkir dan tol, sementara sebagian besar koin lainnya sudah saya “recycle” untuk Keenan berlatih menabung di celengan.

0 comments:

Posting Komentar

pengunjung