Menyantap “Mini M&M” Setiap Rabu

Menyantap “Mini M&M”
Setiap Rabu



Sejak kecil, saya punya masalah dengan rutinitas. Semasa bersekolah, saya sering bertanya-tanya sendiri: kenapa saya harus berada di tempat yang sama, pada waktu yang sama, dan pada hari-hari yang sama, terus menerus? Akibatnya, saya sering membuat “variasi” sendiri, misalnya dengan bolos, mabal, datang terlambat (didukung lagi oleh penyakit malas bangun pagi yang kronis). Itulah salah satu alasan utama saya memilih profesi yang saya jalankan sekarang. Profesi dalam bidang seni memang cenderung berskema lebih chaotic, dengan pola waktu dan aktivitas yang berubah-ubah. Meski kadang bermusik dan menulis pun butuh rutinitas, tapi biasanya tidak berlangsung dalam waktu lama.

Namun, sekarang ada satu rutinitas baru yang tengah saya jalankan. Tentunya ini jadi fenomena langka. Sepanjang ingatan saya, tidak banyak rutinitas yang saya pilih melalui inisiatif sendiri, lebih banyak karena terpaksa (mis. sekolah). Rutinitas baru ini tak punya judul resmi. Berlangsung setiap hari Rabu selama dua jam di Citrus Café, Jakarta Selatan. Ada yang menyebutnya Arisan Rabu Hening, ada juga yang menamainya Meditasi Rabu, atau, dengan konotasi bercanda, Sekte Rabu.



Kegiatan meditasi Rabu itu sendiri sudah berlangsung sejak Mei tahun lalu. Dan, penyelenggaranya sendiri, Reza Gunawan, sudah saya kenal cukup lama, dari mulai kami berteman sampai sekarang menjadi suami. Namun baru enam bulan terakhirlah saya muncul rutin di sana, tepatnya setelah mulai pindah ke Jakarta, mengikuti satu setengah jam kegiatan meditasi yang bentuknya bisa macam-macam, dari mulai duduk diam sampai obrol-obrol biasa.

Entah mengapa, pengalaman di satu Rabu bulan September terasa ekstra berkesan, sampai-sampai menggerakkan saya untuk menuliskan artikel ini. Malam itu, kami hadir bersepuluh. Duduk bersila membentuk lingkaran di atas lantai kayu dengan lampu temaram. Kaca besar yang mengelilingi kami sesekali memantulkan lampu kendaraan yang lalu-lalang, terkadang mengantarkan bunyi knalpot sayup-sayup. Reza lalu mengajak kami untuk melakukan semacam meditasi vocal toning, yakni membunyikan bunyi “a” selama lima menit. Bunyi “a” merupakan satu-satunya bunyi yang resonansinya menyentuh otak dan seluruh ujung saraf tubuh. Pusat utama bunyi ini terletak di chakra jantung (anahata), yang berhubungan dengan rasa syukur, ikhlas, dan kasih sayang. Dalam kehidupan sehari-hari, secara alamiah kita pun memproduksi bunyi ini untuk mengekspresikan kelegaan, pelepasan emosi, atau puncak pengalaman rasa.

Selama kami menyuarakan bunyi “a” dengan mata terpejam, saya merasa ketegangan batin maupun fisik mulai dikendurkan. Seakan lewat bunyi tersebut, tubuh dan batin saya menumpangkan “sampah-sampah”-nya untuk dialirkan keluar. Bunyi sederhana itu pun terdengar sakral dan penuh kekuatan. Sekalipun hanya bersepuluh, rasanya kekuatan suara yang keluar berlipat dari jumlah peserta yang hadir.

Lima menit berlalu, ditandai dengan bunyi bel. Kami pun serempak berhenti. Lima menit berikut kami lalui dengan keheningan. Dan hening singkat ini terasa dalam. Berkualitas. Rasanya seperti meditasi setengah jam. Terbersit rasa tidak rela ketika bel berbunyi karena inginnya memejamkan mata lebih lama lagi. Kesan serupa ternyata juga muncul bagi banyak peserta lain. Semuanya sama-sama merasa lima menit terlalu singkat.

Babak selanjutnya dimulai. Kali ini kami melakukan gibberish selama lima menit. Gibberish adalah bebunyian acak yang kita keluarkan secara spontan. Seperti celoteh bebas yang kerap dilontarkan anak-anak. Yang penting dalam ber-gibberish adalah kontinuitas (tidak boleh berhenti) dan tidak menggunakan kata atau kalimat yang bermakna.

Ini merupakan pengalaman pertama saya gibberish berkelompok. Ternyata efeknya sangat dahsyat. Saya merasa kekuatan gibberish untuk mengeruk “sampah” berkali lipat lagi dibandingkan lima menit membunyikan “a” tadi. Segala bebunyian aneh yang seringkali mengocok perut sudah pasti kita dapatkan selama ber-gibberish. Anehnya, meski terdengar seperti kendurian pasien RSJ, kor ceracau tak beraturan dan menggelikan itu pun terasa sakral. Bahkan pada saat tengah-tengah melakukan gibberish, saya merasa sangat rileks dan damai.

Lima menit berikut kembali hening. Dan lagi, lima menit ini terasa dalam. Jauh lebih dalam. Seusai babak kedua ini, saya sempat termenung. Menyadari betapa rindunya saya pada retreat meditasi, berhari-hari menyelam dalam sunyi, dan berefleksi ke dalam diri. Satu kesempatan yang sudah lama tidak saya cicip karena kepungan aktivitas dan tuntutan keseharian.

Babak terakhir adalah kombinasi antara gumam (humming) dan hening. Sama-sama lima menit. Humming di sini artinya menggumamkan bunyi “mmm” secara bersambung, bebas, dan spontan. Bumi ini sendiri diyakini mengeluarkan bunyi yang berupa gumaman, sehingga ketika kita melakukannnya, kita pun beresonansi kita dengan frekuensi Bumi. Dan saat dilakukan dengan berkelompok, bunyi ini memiliki efek sinkronisasi, mempersatukan.

Total kami bermeditasi tiga puluh menit. Malam ditutup dengan sharing mengenai kesan dan pengalaman kami selama berlatih. Saat saya berbagi, barulah saya menyadari betapa cemerlangnya rangkaian latihan sederhana tadi, dan betapa dalam manfaatnya bagi orang-orang produk zaman modern—termasuk saya—yang hidup dalam irama cepat dan pikiran yang terus menerus dibuat gelisah.

Sering saya mengamati orang-orang di sekitar saya; mulut yang balapan antara makan siang sambil bicara di ponsel, tak-tik-tuk jari jempol yang berpacu mengirim pesan singkat, teve yang terus-terusan berpendar dan bergaung. Tak terhitung banyaknya saya mendengar ungkapan: ‘gue kalo nggak kerja malah pusing’, ‘mendingan ketinggalan dompet daripada ketinggalan hape’, dan seolah seiring sejalan, ungkapan-ungkapan lainnya adalah: ‘pikiran gue kok nggak bisa diam, ya?’, ‘dikasih libur gue malah nggak bisa nikmatin,’ dsb. Jika kita dengan mudahnya menggandengkan diri dengan rutinitas bekerja dan berpikir, mengapa kita begitu sukar bergandengan dengan rutinitas diam dan stop berpikir? Mungkinkah kita sudah lupa caranya? Mungkinkah kita sudah lupa rasanya?

Saya teringat kejadian sebelum meditasi malam itu. Saya pergi belanja, dan anak saya, Keenan, menyambar sesuatu sesaat sebelum saya membayar di kasir. Kecepatan tangan si kasir tidak memberikan kesempatan pada saya untuk melihat dulu, bahkan menyetujui apa yang Keenan beli. Baru setelah sampai di rumah saya mengetahui bahwa dia membeli setabung permen cokelat “M&M”. Tapi kemasan “M&M” ini lebih kecil dari yang biasa saya lihat. Ketika saya buka isinya, menghamburlah warna-warni cokelat bersalut khas “M&M”, tapi kali ini dengan ukuran mini. Tidak ada catatan khusus dalam hati saya ketika melihat permen itu, cuma komentar pendek “lucu, ada ukuran sekecil ini” sambil mengunyah beberapa.

Ada kalanya, saking mendambanya retreat meditasi ke luar kota, saya cenderung melupakan atau mengecilkan makna latihan-latihan harian. Saking kepinginnya pergi ke tempat-tempat sunyi dan inspiratif seperti vihara di Mendut atau resort meditasi di Ubud, saya tidak memperhitungkan bahwa Jakarta pun bisa jadi oase bagi jiwa yang mendamba keheningan. Keinginan bermeditasi berjam-jam kadang membuat kita abai bahwa dalam sepuluh menit pun sebuah keajaiban bisa terjadi.

Jika retreat ke luar kota adalah sebalok besar cokelat, maka Meditasi Rabu ini ibarat permen cokelat “M&M”. Kesempatan mingguan bagi penghuni kota metropolitan Jakarta untuk menguras sampah batin dan sejenak berpulang ke ke kamar batin yang hening. Tapi khusus hari Rabu ini, saya berkesempatan mencicipi “M&M” mini, seri meditasi sepuluh menit yang ternyata mampu menghadirkan pengalaman luar biasa, yang tak kalah ampuh dengan porsi meditasi yang lebih besar.

Alangkah indahnya jika kita, masyarakat urban, selalu punya kesempatan untuk menarik diri dari aneka rutinitas dan kebisingan kota besar. Sayangnya, kesempatan itu tak selalu ada. Alangkah indahnya jika kita selalu berkesempatan dan berdisiplin untuk meluangkan sejam setiap harinya untuk duduk diam dalam hening. Sayangnya, kesempatan dan disiplin itu pun tak selalu hadir. Sepuluh menit yang saya cicip hari ini menjadi pilihan oase yang rileks dan realistis.

Meski terkenal punya masalah dengan rutinitas, saya harus mengakui yang satu ini: keheningan adalah rutinitas yang saya anggap esensial bagi kewarasan dan keselarasan diri saya. Dan Meditasi Rabu menjadi setabung cokelat M&M yang senantiasa ingin saya hadirkan di kantong.

0 comments:

Posting Komentar

pengunjung