Merindu Dunia Mungil

Merindu Dunia Mungil

Memasuki bulan kedelapan saya pindah ke Jakarta, untuk pertama kalinya saya melakukan kegiatan ini: jalan sore.

Hari yang pas; tidak terik, angin berembus kadang semilir kadang kencang, awan di langit berserak membentuk formasi yang indah di mata. Saya berjalan di setapak khusus pejalan kaki yang disediakan kompleks tempat saya tinggal, yang dibuat sedemikian rupa di tengah taman, pasir, dan gerimbun bambu.

Tiupan angin membuat bambu di sekeliling saya bergesek dan menari. Terdengar suara serangga bersahutan, kawanan burung berkicauan, dan tampak seekor kucing menggeliat di atas rumput. Saya memerhatikan kontur tanah di kiri-kanan yang kadang membukit kadang melembah, rumput yang tumbuh pendek-pendek karena rajin dipotong oleh petugas taman kompleks. Dan saya melihat aliran sungai kecil di sebelah kiri, yang ketika saya ikuti ternyata berujung pada sungai yang lebih besar lagi, yang suaranya mampu menahan kaki saya diam berlama-lama di pinggirannya. Lalu saya masuk ke dalam fasilitas umum di mana saya temukan kolam dangkal berisi ikan beraneka ukuran. Riak air di atas kolam berkilau lembut diterpa matahari senja. Ada sekelompok ilalang yang bergoyang di sudut kolam.

Sepanjang perjalanan kaki sore itu, satu hal yang terus bergaung di kepala: kemana saja saya selama ini? Delapan bulan saya tinggal di kompleks tersebut, kompleks sama yang menyimpan nyanyian bambu, kicauan burung, kor serangga, dan aliran sungai, tapi sore ini saya menemukan semua itu bagai harta karun terpendam.


Saya teringat masa kecil dulu, saat kendaraan utama saya adalah tungkai kaki saya sendiri, paling banter roda sepeda. Saya juga ingat permainan masa kecil yang masih terus saya mainkan bahkan sampai SMP, yakni: main “orang-orangan”. Jujur, saya tidak tahu apakah istilah itu universal atau sebetulnya hanya istilah intern yang hanya berlaku di lingkup keluarga saya saja. Yang saya maksudkan adalah, permainan menggunakan benda-benda kecil yang dianggap sebagai “orang”, dan kita mainkan orang-orangan tersebut layaknya kehidupan manusia sehari-hari.

Waktu kami kecil, orang tua kami jarang sekali membelikan mainan. Mereka dengan senang hati membiayai kami kursus piano, atau membelikan pensil warna, atau buku cerita, tapi tidak setahun sekali saya dibelikan mainan baru. Mainan adalah benda mahal dan amat sangat langka dalam hidup saya saat itu. Karena itulah, kami terpaksa menciptakan mainan sendiri. Menggunakan apa pun yang ada.

Saya ingat, kakak-kakak saya mengukir styrofoam menjadi aneka makanan, dan kami main ‘restoran-restoranan’. Pada satu masa, kami juga membuat aneka kue dari lilin malam, dan kami main jualan kue. Ada juga masanya kami bermain menggunakan white board, yang kami bagi jadi empat bagian, dan di masing-masing petak kami menggambar ‘koran-koranan’ buatan masing-masing. Lengkap dengan artikel dan iklan. Ada juga masanya kami membuat kartu-kartu ucapan, lalu saling kirim kartu ke satu sama lain. Namun dari semua permainan ciptaan sendiri itu, orang-oranganlah yang bertahan paling lama.

Orang-orangan favorit kami adalah bidak catur, terutama yang berbahan plastik. Kalau bidak catur tidak ada, pilihan berikutnya jatuh pada batu baterai (ukuran AA). Berhubung bentuk pion catur semua sama, cara membedakannya adalah dengan mengikatkan karet rambut di leher bidak tersebut. Ada yang pink, hitam, putih, biru, hijau, dst.

Orang-orangan kami punya nama, punya pekerjaan, dan punya rumah. Rumah mereka dibangun dari buku-buku tebal yang berfungsi menjadi lantai, mereka juga punya tempat tidur yang dibuat dari kapas, punya mobil dari kotak korek api, punya meja makan dari balok kayu bekas, dst. Bahkan, karena kami biasa main berempat (saya, adik, dan dua kakak perempuan saya), kami bisa membangun satu kota sendiri untuk orang-orangan kami. Ada fasilitas sekolah, toko, dsb. Kami bisa main berjam-jam. Kami bisa main seharian. Satu-satunya agenda di kepala saya menjelang bubar sekolah adalah buru-buru pulang ke dunia mungil itu. Secepat-cepatnya.

Bertahun-tahun memainkan permainan yang sama, mata saya mulai melihat dunia dengan cara yang berbeda. Seperti muncul sepasang mata alternatif yang memandang dunia dari ukuran pion catur. Dunia sehari-hari kita ini menjadi dunia raksasa. Dan justru di hal-hal yang mungil dan kecil, saya menemukan normalitas. Ketika saya melihat pohon melati yang tingginya hanya sebetis, pada saat yang bersamaan saya melihatnya laksana pohon beringin besar tempat orang-orangan saya bisa bermain, bernaung, bahkan tinggal di rumah pohon. Ketika saya melihat genangan air yang hanya sebesar telapak kaki, pada saat yang bersamaan saya menemukan kolam renang bagi orang-orangan saya. Dan akhirnya saya punya dua dunia sekaligus, yang sama-sama normal, yang sama-sama sahih.

Mata saya menjadi terlatih untuk mengamati hal remeh, hal mungil, hal kecil. Didukung oleh keterbatasan seorang anak yang baru mampu mengeksplorasi lingkungan dengan berjalan kaki, saya pun menemukan aneka keajaiban dalam hal-hal yang biasa. Hal-hal yang niscaya luput dari seorang dewasa yang mengamati dunia dari jendela mobil dengan kecepatan laju sekian tenaga kuda.

Setelah jalan kaki sore pertama di kompleks, esok harinya saya mulai berjalan pagi. Terkadang, jika pagi atau sore tak sempat, sebelum masuk rumah, saya dan Reza berjalan kaki malam-malam. Memandangi gerimbun bambu yang kini menyerupai bayang-bayang, menikmati bebunyian yang kini didominasi suara jangkerik. Satu hari, kembali kami beruntung dan mendapati malam yang indah. Sebagian besar langit tampak jernih. Bintang bersembulan.

Pada satu titik, kami berhenti dan duduk. Seperti dua bocah polos yang masih gampang tercengang, kami terlongo-longo melihat bintang-bintang yang sepertinya semakin dilihat malah muncul tambah banyak. Dalam waktu lima menit, langit di atas kepala kami mendadak padat oleh titik-titik cahaya. Kami lalu berdoa, bergantian, mengucap syukur atas apa pun yang melintas di kepala. Dan yang pertama kali menyeruak di hati saya adalah ucapan syukur bahwa saya diingatkan untuk menikmati keindahan dalam hal-hal kecil. Keluarbiasaan dalam hal-hal biasa. ‘Kebesaran’ dalam ‘kemungilan’.

Saya tersadar betapa saya merindukan dunia mungil itu. Dunia yang bisa diteropong hanya kalau menggunakan mata ‘orang-orangan’. Mata yang sempat begitu terlatih. Mata yang mengajarkan saya untuk menjadi seorang pengamat. Mata yang mengajarkan saya untuk menjadi seorang penulis.

Baru-baru ini, di acara pertemuan klub pembaca di Toko Buku Aksara, seorang pengunjung yang mengaku menyukai detail dalam salah satu cerita pendek saya bertanya: kok bisa, sih? Bagaimana caranya? Dan saya harus kembali pada jawaban ini lagi: mengamati. Seorang penulis harus memiliki mata seorang pengamat. Dalam hati saya, kisah panjang permainan ‘orang-orangan’ kembali bertutur tanpa bisa dibendung. Kisah yang barangkali terlalu panjang untuk dicerna dalam sebuah diskusi buku. Tapi tidak cukup panjang untuk direnungkan dalam satu sesi jalan kaki.

0 comments:

Posting Komentar

pengunjung